What should i do?



Sore ini, hiruk-pikuk kota begitu membosankan. Namun mengapa ramainya berada dalam denyut nadiku? Tanya gadis itu. Ah mungkin hari ini ia terlalu banyak memaksakan diri. Tak apa, setelah pulang nanti segala peluh pasti selesai.

"Lala! Sini." Laki-laki bertopi dengan airphone di telinganya itu melambaikan tangan, lalu menggeser  duduk hendak memberi ruang untuk Lala. "Mau kemana La?"

"Pulang san."

"Pulang? kemana?"

"Ya ke rumah aku lah."

"Memangnya rumah benar tujuan kita pulang?"

"Hah, gimana?" Bus ini terlalu berisik, segala macam pembicaraan juga nyanyian pengamen nampaknya beradu dengan pikiran Lala dan perkataan Sandi. Semrawut

"Kayaknya, yang kamu butuhin itu tempat untuk menampung segala peluh, bukan sekedar rumah."

Lala diam, mencerna kalimat Sandi. Ia ingin menyangkal itu, sebab baginya rumah adalah hal paling hebat.

"La, aku duluan ya, udah sampe. Kamu hati-hati."

Lala hanya mengangguk sebagai jawaban. Rasa-rasanya untuk berbicarapun ia tak mampu, sebegitu lelahnya kah?

"Assalamu'alaikum Bunda, Lala pulang." 

Sunyi. Gadis itu mengedikkan bahu, lalu berjalan pelan ke dalam kamar. Setelah merebahkan diri, Lala tak kunjung tidur. Padahal ia benar-benar lelah.

Aku harus apa?

Sedetik kemudian, tangisnya pecah. Ia merasa rumah bukan tempatnya untuk pulang. Sandi benar, yang Lala butuhkan adalah tempat menampung segala peluh. Tapi, peluh yang Lala rasakan nampaknya tak akan hilang jika hanya diistirahatkan. Apa benar ia harus pulang?

Beberapa perasaan menyakitkan tiba-tiba menyerang gadis itu. memicu segala pikirannya untuk kembali mengakhiri hidup.

Ia benar-benar lelah, ia butuh istirahat. Namun, tak ada tempat untuknya berpulang. Ia harus apa?

Brakk

"Lala." Tatapan iba laki-laki itu membuat lala semakin membenci dirinya. Ia tak butuh dikasihani.

"Lala ngga apa-apa, Lala lagi ngerjain tugas, tapi susah-susah." Rayan tahu Lala berbohong. Sebab bagaimanapun juga, Lala harus tetap terlihat baik-baik saja. Terutama di rumah.

"Lala, Bunda berkali-kali bilang jangan maksain diri kamu. Peringkat kelas ngga nentuin jadi siapa kamu dimasa depan." Begitulah Bunda. Yang Bunda tahu, Lala sering menangis sebab tertinggal teman-teman sekelasnya.

Dulu, Lala adalah gadis jenius. Tak ada yang tak dapat ia lakukan. Namun ternyata hal itu membuat dirinya tenggelam. Hingga ia tidak lagi bisa menggapai apa-apa.

"Lala mau istirahat, tolong tutup pintunya." Rayan sadar, akhir-akhir ini Lala begitu membatasi diri. Ia khawatir, tapi mungkin saja Lala memang butuh waktu sendiri.

"Rayan mau pulang ya Bun, nanti mampir lagi." Lala sedikit tercekat. Rayan tak akan semudah itu berpamitan.

Hanya saja, Rayan benar-benar pulang. Lala beranjak dari tempat tidurnya, beralih pada kursi kecil dekat meja rias. Ia menatap lama cermin besar itu, beberapa pertanyaan muncul dalam otaknya, Apakah ia terlalu keras pada orang lain? Terutama diri sendiri?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi jawaban iya lebih mendominasi. Sekali lagi Lala bertanya. Aku harus apa?

df

Komentar

Postingan Populer