Dialog Yang Panjang
Aku merenung di penjuru kamar, sembari menatap ruang yang tak lagi sama. Sesak, udara seperti sudah lelah memberi denyut. Mengapa bumi terus berputar? Bukankah sudah jelas hidup hanya memberi kesengsaraan. Lalu mengapa bulan tetap ada? Padahal ia sama sekali tak memiliki cahaya. Maksudku, percuma jika ia bersinar dari kekuatan milik orang lain. Apakah matahari tak terganggu karenanya? Sebab orang-orang lebih menyukai bulan dibanding matahari. Dunia itu, sangat menyebalkan. Kurasa tak ada kata lain selain tidak adil. Lantas kapan ketidak adilan ini punah?Mengapa hanya kebahagiaan dan kebenaran saja yang tandas?
"La?" Aku mendengar. Namun untuk menoleh saja, rasanya berat. Jadi kubiarkan dia.
Laki-laki itu berjalan menghampiri, ditangannya ada segenggam bunga lavender dan teh hangat. Namun sekarang, lavender tak lagi bisa menghilangkan kabut dalam kepalaku. Juga teh hangat itu, hatiku sudah kepalang mereput.
"Belum selesai ya" Ah, ternyata dia paham.
"Belum kak. Lagi pula ngga akan selesai karena semua ini cuma ada di dalam kepala aku."
"Kalau gitu, kenapa ngga kamu bagi?"
"Emangnya , kalau aku bagi, ada yang bisa ngejawab semua pertanyaan-pertanyaan aku?" Aku tertawa sinis.
"Ya mungkin aja."
"Kak, aku udah tau jawaban apa yang bakal Kakak kasih kalau aku nanya. Aku udah ngga mau denger kalimat-kalimat pereda itu lagi. Jadi lebih baik aku simpan sendiri."
"Sedikit aja La. Apapun itu." Keras kepala.
Aku diam tak menjawab, tak ada gunanya aku bertanya.
"La, apa?"
Aku menoleh sembari menghela napas bosan, "Kapan ya dunia ini berakhir?"
Hening. Wajahnya seketika datar
"Ngga ada pertanyaan lain?"
"Ngga."
"Kenapa?"
"Karena hidup itu luka."
"Tapi kalau dunia berakhir, kamu ngga akan ngerasain hidup yang sebenarnya."
"Hidup yang sebenarnya kan cuma kesengsaraan."
"Kamu sebenci itu ya?"
"Iya, aku benci lahir, aku ngga suka kutipan 'setelah gelap terbitlah terang' karena ya itu cuma kutipan, aku ngga suka kenapa dokter sekeras itu memperjuangkan hidup aku, padahal aku berharap pergi. Aku ngga suka ada disini. Kenapa hidup cuma ngasih aku kepahitan? Kenapa aku harus ada?"
"Karena kamu ada buat jadi diri kamu. Buat kanvas-kanvasmu, buat baju rajut yang dijahit nenek, buat nyiram tanaman dibelakang rumah, buat hal-hal kecil yang ngga kamu sadari. Benar katamu hidup cuma ngasih kepahitan. Tapi, kepahitan itu ngasih kita ruang buat sembuh, meski harus dibilas tangis, meski rasanya ngga sembuh-sembuh, cuman lihat deh kamu bisa lebih kuat dari hari kemarin."
"Aku lebih kuat tapi aku ngga pernah bisa berdamai."
"Makannya, bertahan sedikit lagi, bertahan supaya kamu bisa berdamai sama diri kamu, sama hidup kamu."
"Tapi aku capek, kenapa ini ngga ada habisnya."
"Aku ngga tau, yang aku tau kamu terlalu hebat."
"Kalau aku pergi sekarang gimana ya?"
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia diam termangu.
"La, kenapa mati seolah mimpi kamu? kenapa kamu semudah itu bilang. Pergi ngga akan ngebuat semua jadi lebih baik."
"Kamu kira terus hidup bakal ngebuat semua jadi lebih baik." Aku memukul meja kencang, vas bunga dan teh hangat yang sudah dingin tadi berhamburan ke lantai.
"Kak, sampai kapanpun kamu ngga akan bisa ngehidupin orang yang udah mati."
"Iya, tapi aku masih bisa maksa orang yang berusaha mati buat mau balik ngerasain hidup."
Aku tertegun, semua kalimat yang ada dalam kepalaku seketika hilang.
"Aku sangat-sangat tau, orang yang berharap mati itu orang yang sebenernya pengen ngerasain hidup. Aku ngerti, kamu selalu nutup mata, selalu bilang kalau hidup ngga ada senengnya, ngga akan ada mentarinya, aku paham. Tapi untuk sekarang, tolong buka mata, tolong sadar, aku disini buat ngembaliin napas kamu."
"Kalau kamu emang ngga mau bertahan, tolong hidup buat orang-orang disekitarmu La."
Aku hanya mengangguk, walau sebenarnya sangat nggan. Benarkan tak ada yang bisa menjawab pertanyaanku.
Df
Komentar
Posting Komentar