Melalui Aksara
"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan." Katanya sembari menutup buku.
"Yang kamu baca barusan itu, tulisannya Pramoedya ya?" Lirik Rei.
"Iya, eyang Pram. Dalam novel ini, Bumi Manusia." Jawab Karla seraya menyodorkan buku bersampul hijau dan kuning.
"Ah, buku yang jadi salah satu alasan si Laut dikejar aparat itu ya?"
Karla mengangguk, "Tapi, aku belum nemuin alesan yang jelas kenapa mas Laut seolah jadi tersangka gara-gara novel tebal ini."
"Ya jelas, karena isinya..."
"Tapi, isinya kan cuma cerita tentang si Minke yang jatuh cinta sama perempuan berdarah campuran Pribumi dan Eropa."
"Kamu yakin?" Tanya Rei menaikkan sebelah alisnya.
"Difilmnya juga begitu kan."
"Ah, kamu belum selesai baca bukunya ya?"
"Belum, baru seperempat."
"Baca sampai selesai. Kamu bakal lihat gimana aksara bisa ngebuat sekelompok orang ngerasa terancam."
Karla merubah posisi duduknya, matanya berbinar. Obrolan ini pasti menyenangkan, ucapnya dalam hati.
"Karl, kamu inget nggak sewaktu si Minke, Nyai, dan Ann disidang."
"Inget! dan perlawanan mereka kaya gak ada apa-apanya, bahkan ngebela diri pun percuma, karena mereka Pribumi."
"Betul, tapi kamu tau gimana si Minke memperjuangkan haknya?"
"Mmm, dengan terus datang ke tempat sidang?"
"Sedikit lagi."
"Ah aku tau!" Katanya sembari menjentikkan jari, "Dengan menulis dikoran-koran."
"Nah itu dia. Minke ngelawan kolonial melalui aksara-aksaranya Karl. Dia terus nulis tanpa henti, siang malam sampe kamarnya penuh kertas-kertas bekas. Berkali-kali tulisannya tertimbun, tapi dia gak berhenti berjuang dan terus bersuara sampe akhirnya orang-orang yang awalnya nggak peduli dan abai, mulai penasaran sekaligus ikut gerak."
"Hei, aku jadi inget scene dimana orang-orang islam ikut demo depan gedung pengadilan."
"Iya kan! Perjuangan si Minke buat ngelawan kolonial emang bener-bener keren. Padahal cuma lewat aksara" Jawab Rei takjub.
"Terus sekarang, kenapa pada masa orba buku ini dilarang keras?" Tanya Karla tak sabaran.
"Beberapa sumber bilang kalau Pram itu antek-antek komunis dan bumi manusia ini memuat unsur-unsur komunisme, juga membahayakan ideologi pancasila."
"Loh, bagian membahayakan pancasilanya itu sebelah mana? Komunisme apanya?."
"Itulah yang sempet jadi perdebatan para sastrawan."
"Kenapa sih, harus ribet-ribet ngurusin karya orang yang sebenernya bagus buat ngebranding negara sendiri."
"Karena, mereka ngerasa terancam Karl." Rei meneguk minumannya sebentar, lalu melanjutkan. "Mas Lautmu dan teman-temannya itu Karl, berusaha buat memperjuangkan negara kita yang carut marut tata kelolanya. Sayangnya, mereka gak punya pegangan apa-apa selain buku. Tapi, melalui bacaan-bacaan itulah keberanian dan semangat mereka tumbuh. Mereka selalu punya cara untuk berontak dan kabur dari aparat. Jelas cerdas, karena yang mereka makan sehari-hari adalah tulisan para pionir."
"Ah oke, aku mulai paham."
"Mungkin alasan utama kenapa pemerintah orba ngelarang keras adanya bumi manusia karena mereka takut kalau semangat perjuangan Minke tumbuh dalam diri para aktivis alias mas Laut dan teman-temannya. Hal itu jelas bakal mengganggu kedudukan para petinggi orba."
Karla mengangguk-ngangguk sembari mencerna kalimat Rei. Sepertinya, rasa penasaran yang selama ini ada dikepalanya, sudah terjawab.
"Tapi sekarang, bumi manusia sudah bebas beredar kan?"
"Jangan bilang kamu takut ditangkap Karl?"
"Nggak. Aku cuma ngerasa sedih karena sampai sekarang, kasus mas Laut belum terungkap sedangkan buku yang ngebuat dia diteror, udah bebas beredar."
Rei menatap iba Karla. "Mau bagaimanapun, perjuangan mas Laut nggak sia-sia Karl. Bahkan sampai sekarang, mas Laut selalu diabadikan para aktivis diseptember hitam. Itu bukti kalau usahanya abadi sampai jauh-jauh dikemudian hari."
"Kamu bisa melanjutkan perjuangan mas Laut melalui aksara-aksaramu Karl."
Df
Komentar
Posting Komentar